I.
PENDAHULUAN
Ilmu kalam telah
diajarkan oleh 25 nabi mulai dari zaman Nabi Adam a.s. sampai pada zaman Nabi
Muhammad untuk menyakinkan umat manusia bahwa pencipta alam semesta ini adalah
Allah SWT. Demikin pula pada zaman Khulafaurrasyidin sampai saat ini, ilmu
kalam terus diajarkan kepada umat Islam. Namun dalam perkembangannya ilmu kalam
mengalami perkembangan seiring dengan pemikiran ilmu kalam yang semakin
beraneka ragam. Keaneka ragaman ilmu kalam ini terjadi saat
Khulafaurrasyidin setelah zaman Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, serta Umar bin
Khattab.
Situasi dan
kondisi saat Khulafaurrasyidin telah kehilangan eksistensinya ini, demikian
pula penyebab-penyebab timbulnya kehilangan ini, telah membawa akibat-akibat
yang penting, bahkan amat sangat penting, yakni munculnya
perselisihan-perselisihan kemazhaban dalam barisan umat Islam. Adapun yang
menyuburkan perselisihan-perselisihan ini, mengembangkan serta memberinya
kesempatan untuk menjadi pertikaian-pertikaian mendasar dan perbedaan-perbedaan
esensial, tidak lain hanya disebabkan tidak berdirinya sistem khalifah dalam
bentuknya yang asli dan rupanya yang hakiki, serta kosongannya sistem kerajaan
dari lembaga yang dihormati dan dipercayai serta memiliki kekuasaan untuk
menyelesaikan pertikaian-pertikaian itu dengan cara yang benar.[1]
Sehingga
muncullah aliran-aliran dalam ilmu kalam dan menjadi permasalahan dalam makalah
ini.
II.
PEMBAHASAN
Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw.
umat Islam sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi
reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Setelah beberapa lamanya
Abu Bakar memegang kekhalifaan, mulai timbul kembali perpecahan yang
dihembuskan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang
mengumumkan dirinya sebagai nabi. Di samping itu juga ada golongan-golongan
yang tidak mau membayar zakat. Akan tetapi semua perselisihan itu segera dapat
diatasi dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan khalifah Abu Bakar.[2]
Perubahan ini bermula ketika Umar bin
khatthab r.a. merasa khawatir hal tersebut akan terjadi. Di antara hal-hal yang
paling ditakuti ketika hampir ajalnya ialah bahwa penggantinya akan mengadakan
perubahan politik yang telah diikuti sejak masa Rasulullah saw. sampai masanya
sendiri, yaitu yang berhubungan dengan perlakuan terhadap kabilah-kabilah dan
suku-suku mereka sendiri, sanak kerabat serta keluaraga mereka. Itulah sebabnya
ia memanggil calon-calon penggantinya sebanyak tiga orang, yaitu Usman, Ali,
dan Sa’aad abi waqqash r.a., kepada mereka satu-persatu ia pesankan, seandainya
ia yang menggantikan kedudukan Umar, agar tidak mengangkat kaum kerabatnya sebagai penguasa atas kaum
muslimin. Namun Usman bin Affan r.a., ketika menggantikan kedudukan Umar, mulai
menyimpang dari kebijaksanaan ini.[3]
A.
Masa Khalifah Usman bin Affan r.a.
Tatkala Umar bin Khatthab mendapat
tikaman, dia menyerahkan masalah kenegaraan kepada enam orang sahabat. Semua
sahabat yang enam sama-sama enggan untuk menjadi khalifah hingga akhirnya
mereka berhasil memilih Usman bin Affan. Usman bin Affan sama sekali belum
pernah berambisi untuk memegang kendali kekuasaan itu. Saat dia dibaiat sebagai
khalifah, dia telah berusia tujuh puluh tahun. Masa pemerintahan Usman dipenuhi
dengan penaklukan-penaklukan daerah-daerah sebagai penyempurna penaklukan di
masa pemerintahan Umar.[4]
Setelah Islam meluas ke mana-mana,
tiba-tiba di akhir masa pemerintahan Usman, terjadi suatu persoalan yang
ditimbulkan oleh tindakan Usman yang kurang mendapat simpati dari sebagian
pengikutnya. Tindakan Usman yang kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat
itu, di antaranya ialah kurang pengawasan terhadap beberapa pejabat penting
dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana di lapangan tidak bekerja secara
maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya.[5]
Pada saat
pemerintahannya, Usman sedikit demi sedikit mulai menunjuk kerabatnya untuk
menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka
keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya protes-protes dan
kritikan-kritikan rakyat secara umum.[6]
Berkobarlah
fitnah besar di tengah kaum muslimin yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’,
seorang Yahudi asal Yaman yang pura-pura masuk Islam. Dia kemudian menaburkan keraguan di
tengah manusia tentang akidah mereka dan mengecam Usman dan para gubernurnya.
Dia dengan gencar mengajak semua orang untuk menurunkan Usman dan menggantinya
dengan Ali sebagai usaha menabur benih fitnah dan benih perpecahan.[7]
Fitnah ini mengakibatkan terbunuhnya
Usman bin Affan. Setelah itu maka Ali terpilih menjadi khalifah, tetapi tidak
memperolah suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui
pengangkatan itu.[8]
B.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah terbunuhnya Usman, kaum
muslimin memilih Ali untuk menjadi pemimpin mereka. Para sahabat mendesaknya
agar bisa keluar dari kemelut yang menimpa mereka.[9]
Setiap orang mengetahui bagaimana
suasana ketika Ali dipilih sebagai khalifah kaum muslimin setelah terbunuhnya
Usman. Ada 2000 kaum pemberontak yang datang ke ibukota dan menguasainya, dan
boleh dibilang merekalah yang telah membunuh sang khalifah.[10]
Sudah jamak diketahui bahwa Ali bin
Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak.
Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera
mengeluarkan perintah yang menunjukkan ketegasan sikapnya, yaitu memecat
beberapa gubernur yang pernah diangkat Usman bin Affan, mereka adalah Bani
Umayyah, dan mengembalikan kembali tanah-tanah dan hibah yang demikian besar
jumlahnya.[11]
Tindakannya ini muncul karena adanya
pemberontakan Bani Umayyah yang tidak membaiatnya sebagai khalifah. Ini tergambar dengan jelas dari sikap Mu’awiyah
bin Abu Sufyan, yang saat itu menjadi Gubernur Syam.[12]
Bahkan ada yang menentang pengangkatan tersebut sekaligus menuduh bahwa Ali campur tangan atau
sekurang-kurannnya membiarkan komplotan pembunuh terhadap Usman. Semenjak
itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam, hingga menjadi partai atau
golongan.[13]
C.
Sebab-sebab munculnya Aliran-aliran
dalam Ilmu Kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan
persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan Usman bin Affan yang beruntut pada penolakan Mu’awiyah atas
kekhalifaan Ali bin Abi Thalib.[14]
Pada masa itu
perpecahan di tubuh umat Islam terus berlanjut. Adanya golongan yang pro
terhadap kekhalifaan Ali bin Abi Thalib menamakan dirinya kelompok Syi’ah, dan golongan yang kontra
menamakan dirinya kelompok Khawarij. Akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah
Perang Jamal, yaitu perang antara Ali dengan Aisyah, ini merupakan perang antar
kaum muslimin yang pertama dan Perang Shiffin, yaitu perang antara Ali bin Abi
Thalib dengan Mu’awiyah,
yang berakhir dengan keputusan tahkim
(arbitrase). Perang Shiffin merupakan perang antar kaum
muslimin yang kedua.
Bermula dari
itulah akhirnya timbul berbagai aliran di kalangan umat Islam, masing-masing
kelompok juga terpecah belah, akhirnya
jumlah aliran di kalangan umat Islam menjadi banyak, seperti Syi’ah, Khawarij,
Murji’ah, Jabariyah, Mu’tazilah, dll.
Ada dua faktor yang menybabkan
munculnya aliran dalam ilmu kalam, yaitu:
1.
Faktor
Internal
Faktor internal adalah factor yang
muncul dari dalam umat Islam sendiri yang dikarenakan:
a. Adanya
kepentingan kelompok atau golongan
Kepentingan
kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas,
di mana Syi’ah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib,
sedangkan Khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya.
b. Adanya
kepentingan politik
Kepentingan
ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman khalifah Usman bin Affan
yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber
kekuasaan untuk menata kehidupan.
Berkenaan dengan itu, ulama, antara lain ‘Amir al-Najjar
(1990: 59) berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam
adalah pertentangan dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah.[15]
c. Adanya
pemahaman dalam Islam yang berbeda
Perbedaan
ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam
menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang
shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang
shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya
mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.
d. Mengedepankan
akal
Dalam
hal ini, akal digunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan
berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.
2.
Faktor
Eksternal
Faktor ini muncul dari luar umat Islam, yaitu akibat adanya pengaruh dari luar Islam. Pengaruh ini terjadi ketika munculnya
aliran Syi’ah yang muncul karena propaganda seseorang Yahudi yang mengaku
Islam, yaitu Abdullah bin Saba’.
III.
PENUTUP
Dari uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa munculnya aliran dalam ilmu kalam
disebabkan oleh beberapa faktor, yakni faktor internal (dari dalam Islam) yang
disebabkan karena adanya kepentingan kelompok atau golongan, pertentangan dalam bidang politik, pemahaman
dalam Islam yang berbeda, dan mengedepankan akal, serta faktor eksternal (dari luar Islam) yang
disebabkan karena propaganda seseorang Yahudi yang mengaku Islam, yaitu
Abdullah bin Saba’.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, Abul
A’la. 1998. Khalifah dan Kerajaan.
Bandung: Penerbit Mizan.
Al-Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam. Jakarta: AKBAR Media Eka Sarana.
Hakim, Atang Abd.. 2008. Metodologi Study Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Mulyadi. 2007. Aqidah Akhlak. Jakarta: PT Karya Toha Putra.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar